文字起こし
Bujang Katak dari Bangka Belitung
Pada zaman dahulu kala, tersebutlah seorang wanita yang tua tinggal di pelosok pulau Bangka.
Wanita tua itu menempati sebuah rumah panggung sederhana.
Sebelum melanjutkan kisah wanita tua tersebut, ada baiknya kita mencari tahu terlebih dahulu di manakah pulau Bangka itu.
Pulau Bangka masuk ke dalam provinsi Bangka-Belitung.
Provinsi ini merupakan salah satu provinsi kepulauan di Indonesia.
Dua pulau utamanya adalah pulau Bangka dan pulau Belitung.
Karena itulah provinsi tersebut diberi nama provinsi Bangka-Belitung.
Ibukota provinsi Bangka-Belitung berada di Pangkal Pinang.
Kembali ke cerita sebelumnya, wanita tua itu tidak tinggal sendirian.
Selama ini dia hidup bersama anak laki-laki semata wayangnya.
Hanya saja sang anak tidak seperti pada umumnya.
Tubuhnya kecil, agak membungkuk, kulitnya memiliki bercak-bercak hijau.
Dilihat sepintas, anak tersebut sangat mirip dengan katak.
Konon ceritanya, dahulu sang ibu tidak kunjung diberi anak.
Sang ibu berdoa kepada Sang Pencipta agar segera diberi anak.
Tidak kunjung doanya dikabulkan, suatu hari sang ibu tanpa sadar berdoa bahwa jika dia diberi anak, akan menerima dan menyayangi anak tersebut, meskipun anak katak sekalipun.
Doanya dikabulkan.
Sang ibu tersebut diberi seorang anak laki-laki, namun agak menyerupai katak.
Sang ibu, seperti doanya, tetap menerima dan menyayangi, meskipun anaknya mirip dengan katak.
Anak tersebut kemudian dikenal dengan sebutan Bujang Katak.
Tuhan memang Maha Penyayang, bukan hanya ibunya yang menyayangi Bujang Katak.
Orang-orang di kampungnya juga sangat menyayangi Bujang Katak.
Bujang Katak tumbuh sebagai anak yang periang dan rajin.
Setiap hari dia selalu membantu ibunya bekerja.
Selain rajin bekerja, Bujang Katak juga dikenal sebagai anak yang ramah.
Dia selalu menyapa dan bersikap sopan kepada siapa yang ditemuinya.
Suatu hari, Bujang Katak yang dikenal sebagai anak periang, terlihat sedih.
Ibunya pun terheran-heran melihat perubahan sikap Bujang Katak.
“Nak, sudah beberapa hari ini kamu terlihat murung.
Sebenarnya apa yang sedang kamu pikirkan?”
“Ibu, aku ini sudah dewasa. Sudah saatnya menikah.”
“Hmm… iya, ibu juga memikirkan hal itu. Tetapi, apakah kamu sudah mempunyai calon?
Nanti biar ibu yang melamarkan.”
“Raja memiliki tujuh orang putri.
Tolong lamarkan salah satunya untukku, Bu.”
Ibu Bujang Katak sangat terkejut mendengar jawaban anaknya.
Dalam hati ia berkata “Mana mungkin putri raja mau menikah dengan Bujang Katak?”
Namun, rasa sayang kepada anaknya, membuatnya tidak tega menolak permintaan Bujang Katak.
“Hhh… Baiklah. Besok kita berangkat ke istana untuk melamar salah satu putri raja.”
Keesokan harinya, Bujang Katak dan ibunya menemui raja.
“Ada apakah gerangan, wahai engkau ibu dan putranya datang menemuiku?”
“Ampun, Yang Mulia Baginda Raja.
Mohon dimaafkan jika apa yang akan hamba sampaikan, menyinggung perasaan Paduka.
Hhh… maksud kedatangan kami adalah untuk melamar salah satu putri Paduka, untuk dinikahkan dengan putra hamba.”
Raja pun terkejut mendengar apa yang disampaikan oleh ibu Bujang Katak.
Namun, raja tidak ingin menyinggung perasaan ibu Bujang Katak.
Dengan segera, sang Raja berbicara dengan penuh bijaksana kepada ibu Bujang Katak.
“Aku tidak akan memberikan keputusan tentang hal ini.
Biarlah putri-putriku yang memberikan keputusan, apakah ada di antara mereka yang bersedia menikah dengan putramu.”
Raja segera memanggil ketujuh putrinya.
“Putri-putriku, aku memanggil kalian, karena kedatangan ibu dengan putranya yang sekarang ada di hadapan kalian.
Sang ibu ingin melamar salah satu dari kalian untuk dinikahkan dengan putranya.
Nah, adakah di antara kalian yang bersedia menikah dengan putra sang ibu ini?”
Seperti yang sudah diduga oleh ibu Bujang Katak dan raja, para putri raja yang cantik jelita itu tidak ada yang mau menikah dengan Bujang Katak.
Mereka justru tertawa mengejek dan kemudian pergi begitu saja masuk ke dalam istana.
Tetapi ada yang aneh. Putri bungsu raja sedari tadi hanya diam saja.
Dia tidak ikut tertawa mengejek dan pergi. Raja pun merasa seperti ada yang aneh.
“Putriku yang bungsu, yang paling cantik di antara tujuh putriku, kenapa engkau diam saja di sini dan tidak masuk ke dalam menyusul para kakakmu?”
“Ayahanda, ananda bersedia menikah dengan putra ibu tersebut.”
Baik raja maupun ibu Bujang Katak sama-sama terkejut.
Mereka seperti tidak percaya pada apa yang baru saja dikatakan putri bungsu sang raja.
Setelah berhasil menguasai rasa terkejutnya, raja kemudian berbicara dengan lemah lembut kepada putri kesayangannya tersebut.
“Putriku, benarkah yang kau ucapkan tersebut?
Sudahkah engkau memikirkannya masak-masak?”
“Bukankah selama ini ayahanda berbicara kepada ananda untuk menikah dengan lelaki baik-baik?
Dan bukankah Bujang Katak lelaki yang baik?”
Raja tidak bisa membantah perkataan putri bungsunya.
“Bujang Katak, putri bungsuku ini selain yang paling cantik dibanding saudara-saudaranya, dia juga putri kesayanganku.
Engkau boleh menikahi putri bungsuku dengan satu syarat.”
“Syarat apapun akan hamba penuhi, Paduka yang mulia.”
“Engkau harus membangun jembatan di atas sungai yang menghubungkan istana ini dengan desamu.
Jika aku ingin mengunjungi putriku di desamu, maka aku tidak perlu naik perahu, cukup dengan melewati jembatan tersebut.
Dan, ini yang paling penting, jembatan tersebut harus terbuat dari emas dan selesai dalam waktu tujuh hari.
Sanggupkah engkau melakukannya, Bujang Katak?”
“Siap, yang mulia baginda raja. Hamba akan membangun jembatan emas yang sesuai dengan keinginan paduka.”
Bujang Katak dan ibunya kemudian pulang ke rumah.
Bujang Katak sepertinya bisa merasakan kekhawatiran ibunya.
“Tenanglah, ibu… aku tahu kekhawatiranmu. Dengan pertolongan Yang Maha Kuasa, kita pasti bisa memenuhi syarat yang diajukan sang raja.”
Keesokan harinya, seperti biasanya, Bujang Katak pergi mandi pada sungai kecil di belakang rumahnya sebelum berangkat ke ladang.
“Ahh… segar!” Tiba-tiba Bujang Katak merasa ada yang aneh dengan tubuhnya.
Tidak lama kemudian kulitnya yang menyerupai katak mengelupas.
“Hah! Emas? Kulitku mengelupas menjadi emas?”
Kulit Bujang Katak yang mengelupas tersebut ternyata mengelupas menjadi emas.
Emas yang berasal dari kulit Bujang Katak semakin banyak dan menumpuk. Keajaiban yang terjadi tidak hanya itu.
Pelan-pelan seiring kulitnya yang mengelupas, Bujang Katak berubah menjadi pemuda yang tampan.
Sangat jauh berbeda dengan sebelumnya.
Bujang Katak merasa sangat bahagia dengan keajaiban yang terjadi.
Dia pun segera pulang membawa emas dan menemui ibunya.
“Ibu! Ibu! Ibu, lihatlah, Tuhan telah menolong kita, Ibu! Kulitku mengelupas ketika terkena air dan berubah menjadi emas.”
“Hah! Kamu ini siapa?
Dan kenapa kamu memanggilku ibu?”
Bujang Katak bertambah bingung.
Dia segera masuk ke dalam rumah dan bercermin.
Bujang Katak tidak menyangka dengan keajaiban yang terjadi di pagi itu.
Setelah kulitnya yang menyerupai katak mengelupas.
Ibu Bujang Katak sangat bersyukur kepada Tuhan.
Pagi itu anak lelaki kesayangannya tidak hanya mendapatkan emas yang cukup untuk membangun jembatan, tetapi juga berubah menjadi anak lelaki yang tampan.
Sangat jauh berbeda dengan sebelumnya.
Bujang Katak tidak membuang-buang waktu. Dengan emas yang dimilikinya, jembatan yang disyaratkan oleh raja segera dibangunnya.
Siang-malam Bujang Katak bekerja tanpa mengenal lelah.
Pada hari ke-tujuh, seperti yang sudah ditentukan oleh raja, Bujang Katak dan ibunya menghadap ke istana.
“Hai, Ibu! Siapa pemuda yang bersamamu ini? Dan ke mana si Bujang Katak?”
“Ampun yang mulia, pemuda yang bersama hamba ini adalah anak hamba.
Dia adalah Bujang Katak. Keajaiban telah terjadi.
Anak hamba berubah menjadi seorang pemuda gagah dan tampan.”
Mendengar penjelasan ibu Bujang Katak, enam putri raja sangat terkejut dan heran.
Bagaimana mungkin seorang pemuda yang mirip katak bisa berubah menjadi pemuda yang sangat tampan?
Sedangkan putri bungsu raja terlihat sangat bahagia.
“Hmm… sungguh sebuah keajaiban.
Tetapi, masih ada satu hal lagi.
Bujang Katak, apakah kamu sudah membangun jembatan seperti yang aku syaratkan?”
“Jembatan yang Paduka syaratkan sudah hamba bangun.
Silakan yang mulia melihatnya.”
Raja dan ketujuh putrinya berjalan di atas jembatan emas.
Dalam hati sang raja mengakui bahwa Bujang Katak sangat layak menikah dengan putri bungsunya.
Akhirnya Bujang Katak menikah dengan putri bungsu raja.
Pesta pernikahan digelar selama tiga hari-tiga malam.
Seluruh rakyat diundang sehingga istana raja penuh sesak dengan lautan manusia.
日本語訳付▼