まずは動画を一度見て、大体の内容を確認しましょう。分からない単語は放置で良いです。その後に音声を流しながら文字お越しの文章を追います。分からない単語がチェックできた時点で、もう一度動画を観る⇒音声を流す作業をしてください。最後に音声を流して情景やストーリーをイメージできるようになるまで何度も繰り返しましょう。音声だけを聞いて分からない単語や表現がなくなったら次の動画を観ましょう。
音声のみ▼
文字起こし
Asal Mula Air Telaga Biru
Alkisah, hiduplah sepasang kekasih, di desa Lisawa, Galela, Maluku Utara.
Mereka bernama Mago Hiduru dan Majo Jaru.
Desa tempat mereka tinggal sangatlah miskin.
Susah sekali mendapat air di sana.
Penduduknya pun juga sedikit.
Meski begitu, kehidupan mereka damai dan tenang.
Sudah lama Mago Hiduru ingin meminang Majo Jaru menjadi istrinya.
Namun dia belum berani, sebab untuk menghidupi dirinya sendiri saja sulit.
“Kapan kau akan meminangku, Kakak?”
“Iya, sabar, Adik. Kakak pasti akan meminang Adik.”
Mago Hiduru berpikir untuk pergi merantau. Rencana ini pun dibicarakan kepada kedua orang tuanya.
“Apa kamu sudah memikirkannya masak-masak anakku?”
“Iya, Ayah. Beta ingin menghadiahkan kehidupan yang layak untuk istri beta kelak.
Kalau bisa beta juga ingin membawa pergi ayah dan ibu dari desa yang miskin ini.”
“Kalau begitu, ayah mengizinkanmu, Nak. Namun, bicara lah dulu dengan Majo Jaru.”
Mago Hiduru akhirnya menemui Majo Jaru.
Dia mengutarakan keinginannya untuk merantau.
Mendengar keinginan kekasihnya, Majo Jaru menjadi resah.
“Jangan gelisah, Adik! Beta pasti akan segera pulang.
Dan membawa uang banyak. Kita akan menikah.”
“Beta takut terjadi apa-apa dengan Kakak.”
“Tenang saja, tidak akan terjadi apa-apa dengan beta. Percayalah…
Beta pasti akan segera pulang.
Beta hanya minta satu, supaya Adik setia menunggu beta.
Kita akan menjadi pasangan sehidup-semati.”
Setelah dibujuk oleh Mago Hiduru, akhirnya Majo Jaru pun setuju meski dengan berat hati.
Sebuah kapal layar sudah menunggu Mago Hiduru.
Kedua orang tua dan kekasihnya mengantar Mago Hiduru dengan berat hati.
“Beta bersumpah akan setia menunggumu sampai mati, Kak.
Tak ada yang mampu memisahkan kita.”
Air mata Majo Jaru berlinangan.
Dia bersumpah akan menunggu Mago Hiduru sampai kapanpun.
“Tunggu beta, Sayang! Beta pasti kembali!”
Setahun telah berlalu.
Tak ada kabar dari kekasihnya.
Betapa resah hati Majo Jaru.
Setiap hari dia pergi ke pelabuhan dan menunggunya.
Tak juga nampak kedatangan Mago Hiduru.
Suatu hari, sebuah kapal besar datang.
Majo Jaru menyambutnya dengan gembira.
“Wah… pasti Kak Mago Hiduru ada di kapal itu. Senangnya…”
Dia menunggu sampai penumpang kapal itu turun.
Tak ditemukannya kekasih hatinya.
“Yah… kenapa kamu tidak ada, Kak? Kapan kamu pulang?”
Kemudian Majo Jaru memberanikan diri untuk bertanya pada awak kapal.
“Permisi, Tuan! Apakah engkau mengenal Mago Hiduru?”
“Ngg… Siapa tadi?”
“Mago Hiduru. Dia kekasih beta.
Setahun lalu dia naik kapal ini menuju negeri seberang.”
“Oh iya, aku ingat! Aku tahu dia.
Sayang, nasibnya sungguh malang.”
“Oh! Apa yang terjadi dengannya?”
“Sebulan yang lalu dia mengalami kecelakaan di tempat kerjanya.
Tapi sayang nyawanya tidak bisa ditolong. Dia sudah meninggal.”
Mendengar ucapan awak kapal itu, Majo Jaru menjadi lemas.
“Huhu… tidak mungkin… kakak pasti kembali… Huhuhu…”
“Maafkan aku, karena telah mengabarkan berita buruk ini.”
Dengan langkah yang berat, Majo Jaru pun berjalan pulang.
Sepanjang perjalanan, dia terus terkenang oleh kekasihnya.
Dia ingat akan janji untuk sehidup-semati. Rasanya, langkahnya semakin berat. Majo Jaru tak kuat.
Lama-kelamaan, air mata yang keluar itu berubah menjadi genangan air.
Makin lama, makin tinggi.
Majo Jaru pun tenggelam dalam air matanya sendiri.
Dia pun mati tenggelam.
Maka genangan itu pun semakin membesar dan berwujud sebuah telaga.
Dengan air yang bening, seperti air mata dan berwarna biru.
Suatu hari, seorang pencari kayu bakar menemukan telaga itu.
Dia sangat terkejut dan melaporkan penemuannya ke tetua desa Lisawa.
Mereka berduyun-duyun datang ke tempat telaga itu berada. Gemparlah mereka semua.
“Apakah ini pertanda buruk untuk desa kita?”
“Kok aneh, ya? Tiba-tiba ada telaga ini!”
Akhirnya para tetua mengadakan upacara adat untuk memanggil roh leluhur dan penyembahan terhadap Jou Maduhutu atau Tuhan Yang Maha Esa.
Saat upacara berlangsung, terdengarlah bisikan yang berbunyi, “Telaga itu tercipta karena hati yang patah.
Air matanya mengalir dan terus mengalir menjadi telaga.”
Setelah mendengar bisikan itu, tetua desa itu mengumpulkan warganya.
“Ketahuilah, telaga itu tercipta dari air mata seorang gadis yang patah hati.
Siapakah gerangan di antara kalian yang kehilangan anggota keluarga?”
Ayah Mago Hiduru pun maju.
Dia mengaku telah menantikan anaknya yang setahun pergi namun belum kembali.
“Sudah setahun putra beta belum kembali. Beta tidak tahu nasib putra beta.”
Ayah Majo Jaru pun ikut maju menghadap tetua desa.
“Sejak putri beta pergi ke pelabuhan beberapa hari yang lalu, dia tidak pernah kembali.”
Akhirnya tahulah mereka, jika sepasang kekasih itu sudah tiada.
Mereka pun bertekad menjaga telaga itu dengan baik dan memberinya nama Telaga Air Biru.
日本語訳はこちら▼