SATU babak dari rencana pembentukan ibu kota negara (IKN) Indonesia yang baru sudah terlewati.
Selasa (18/1) pekan lalu, Rapat Paripurna DPR, tanpa banyak perdebatan, telah mengesahkan RUU IKN menjadi undang-undang (UU).
Dengan pengesahan itu, telah resmi bahwa ibu kota negara yang kini berada di DKI Jakarta akan pindah ke Kalimantan, tepatnya di wilayah Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.
Selanjutnya akan diterbitkan aturan turunan, yakni peraturan presiden (perpres) mengenai otorita ibu kota negara yang akan menjadi penyelenggara pemerintahan di ibu kota anyar tersebut.
Dua kata kunci yang kabarnya akan menjadi poin krusial dari perpres tentang IKN itu ialah partisipasi publik dan tata kelola pemerintahan yang baik.
Partisipasi publik bahkan sudah dimulai dari sekarang saat Presiden Joko Widodo sedang mencari calon pemimpin pertama ibu kota baru atau nama resminya kepala Otorita IKN tersebut.
Keputusan siapa yang bakal dipilih, menurut UU IKN memang sepenuhnya menjadi hak prerogatif presiden sebagai kepala negara.
Akan tetapi, publik tetap punya hak untuk memberikan masukan dan usulan.
Presiden diberikan waktu dua bulan sejak UU disahkan untuk menunjuk pemimpin ibu kota baru.
Otorita IKN Nusantara sendiri, menurut Pasal 36 UU IKN, mulai beroperasi selambat-lambatnya pada akhir 2022.
Nantinya, Otorita IKN Nusantara menjadi lembaga setingkat kementerian yang menyelenggarakan pemerintahan daerah khusus IKN Nusantara.
Tentu bukan hal mudah bagi siapa pun, termasuk Presiden, memilih sosok untuk memimpin sekaligus mengawal kerja besar pemindahan sebuah ibu kota negara.
Karena itu, pertimbangan Presiden dalam memilih/menunjuk pemimpin IKN sepatutnya dapat menghimpun dan menyerap masukan dari berbagai pihak, termasuk yang berkembang di masyarakat.
Soal bursa calon, sejumlah nama sudah banyak disebut-sebut sebagai kandidat kuat Kepala Otorita IKN Nusantara.
Mulai dari Basuki Tjahaja Purnama, Bambang Soemantri Brodjonegoro, Azwar Anas, hingga Tumiyana.
Keempatnya pada 2020 lalu pernah disebut oleh Presiden Jokowi memiliki kans menjadi pemimpin IKN. Belakangan juga muncul nama baru setelah Jokowi melempar sedikit kode spesifik bahwa calon ketua Otorita IKN idealnya ialah ‘yang pernah memimpin daerah dan berlatar belakang arsitek’.
Suka tidak suka publik pun langsung mengarahkannya ke dua orang yang selain memenuhi dua klasifikasi itu, juga punya posisi secara politik cukup kuat.
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dan Menteri Sosial Tri Rismaharini.
Namun, patut kita ingatkan, kita jangan terjebak pada sosok atau figur. Sosok mestinya hanyalah output dari saringan berupa kriteria yang harus ditetapkan sebelumnya.
Karena ini adalah sebuah kerja besar dengan pertaruhan yang besar pula, Presiden layak pasang harga tinggi dalam menentukan kriteria.
Tetapkan kriteria seideal mungkin sehingga sosok yang dihasilkan benar-benar sosok yang mumpuni.
Sebut saja misalnya pemimpin IKN harus visioner, punya kemampuan manajerial tinggi, punya wawasan good governance yang amat baik, berintegritas, dan ini yang paling penting, punya rekam jejak yang menjaga jarak dengan korupsi.
Sekali lagi, ini bukan kerja yang ringan.
Pembangunan IKN bukan kerja 1-2 tahun. Membangun ibu kota baru negara artinya membangun dari titik nol.
Pun, bukan membangun secara fisik semata, melainkan membangun keseluruhan aspek kebudayaan dan kehidupan.
Ini kerja panjang yang mesti dilakukan dengan tekun, konsisten, persisten, juga penuh visi dan perhitungan matang.
Karena itu, Pak Jokowi, untuk perkara penunjukan Kepala IKN Nusantara ini, tolong simpan dulu kompromi, jangan pedulikan lobi-lobi, apalagi kalau itu hanya untuk kepentingan bagi-bagi kursi.
Masyarakat juga diharapkan tetap menjaga situasi kondusif. Kalau ada yang mempermasalahkan terkait ibu kota baru, biarkan hukum yang bekerja.
Sumber: https://mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/2557-kriteria-tinggi-pemimpin-ikn