未経験者から始める3か月の動画学習コンテンツ

Kisruh Minyak Goreng

PERSOALAN mahalnya harga minyak goreng di Tanah Air hingga kini belum juga tuntas, kendati pemerintah sudah menerapkan sejumlah kebijakan.

Awalnya, pemerintah menggelontorkan kebijakan satu harga dengan memberikan subsidi melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).

Sejak Rabu (19/1), harga minyak goreng dipatok Rp14 ribu per liter.

Kebijakan itu mendorong panic buying hingga membuat minyak goreng langka di beberapa tempat.

Pembelian berlebihan oleh masyarakat dipicu kekhawatiran sulit mendapatkan minyak goreng dengan harga patokan tersebut.

Kenyataannya memang, sampai sepekan kemudian minyak goreng yang di pasar ritel juga masih banyak yang dijual melebihi harga Rp14 ribu per liter.

Di sisi lain, harga minyak sawit yang terus naik di pasar internasional membuat subsidi membengkak dan BPDPKS pun kewalahan.

Pemerintah lantas mewajibkan produsen minyak sawit memenuhi kebutuhan dalam negeri melalui kebijakan DMO dengan harga khusus yang dipatok.

Kemudian berlanjut dengan larangan terbatas ekspor minyak sawit dan turunannya.

Yang terbaru, per 1 Februari, pemerintah menerapkan harga eceran tertinggi minyak sawit dan subsidi BPDPKS tidak lagi berlaku.

Rentetan kebijakan pemerintah tersebut sesungguhnya sudah berada di jalur yang tepat.

Lalu, mengapa harga minyak goreng di pasaran masih membandel mahal?

Padahal, dua pekan sudah berlalu.

Di sini ada persoalan lemahnya kendali pemerintah.

Entah karena ketidakmampuan atau keengganan untuk all out menyeret harga minyak goreng turun dan menstabilkannya. Pemerintah hanya manggut-manggut memaklumi alasan produsen dan pedagang bahwa perlu waktu untuk menyesuaikan harga.

Butuh waktu berapa lama lagi?

Harga minyak goreng sudah bertengger di posisi hingga dua kali lipat dari harga normal sejak November 2021.

Harga mulai merangkak naik sejak akhir September 2021.

Praktis sudah empat bulan masyarakat menanggung beban harga yang begitu mahal.

Sungguh ini suatu hal yang konyol karena ketersediaan bahan baku melimpah dan produksi minyak goreng sepenuhnya dilakukan di dalam negeri.

Semua diolah dengan menggunakan sumber daya domestik.

Aneh bin ajaib bila harga dalam negeri harus mengikuti harga di pasar internasional.

Lebih mengherankan lagi ketika pemerintah sekian lama membiarkannya.

Kini pun, pemerintah masih cenderung lembek terhadap produsen.

Ingat, minyak goreng termasuk komoditas yang memiliki elastisitas tinggi.

Artinya, meski harga mahal, masyarakat tidak akan berhenti mengonsumsinya.

Oleh karena itu, dengan dalih butuh waktu melakukan penyesuaian, produsen dan pedagang dapat mengulur-ulur kesempatan untuk mengeruk keuntungan yang besar.

Toh, masyarakat akan tetap membeli minyak goreng. Di saat masyarakat manggut-manggut, indikasi permainan produsen akhirnya tercium pula oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).

Wasit perdagangan tersebut hari ini mulai memanggil produsen besar minyak sawit atas dugaan kartel.

Terlepas dari benar atau tidaknya ada praktik culas yang dilakukan produsen, pemerintah tidak boleh hanya menunggu hasil kebijakan.

Langkah proaktif melakukan pengawasan, penelusuran, hingga penjatuhan sanksi harus dilakukan.

Bila harga di pasar ritel masih tinggi, telusuri pihak mana yang sengaja menahan harga.

Jika perlu, wajibkan produsen melakukan pembelian kembali minyak goreng dari pedagang yang telanjur membeli melebihi HET.

Pekan depan, selayaknya kisruh harga minyak goreng sudah benar-benar tuntas.

Sumber: https://mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/2563-kisruh-minyak-goreng

\もっとインドネシアを知りたいひとはこちら/

メルマガやSNSでは、インドネシア語学習に役立つ最新情報やコンテンツをお届け!是非チェックしてみてくださいね。