\無料体験レッスン実施中/

Lawan Mafia Minyak Goreng

SELAMA hampir lima bulan ini, di Republik ini, barangkali tidak ada masalah yang lebih ruwet ketimbang persoalan minyak goreng.

Dimulai sejak November 2021, minyak goreng mengalami lonjakan harga nyaris dua kali lipat dari harga normal.

Tak hanya itu, minyak goreng juga sempat langka di pasaran.

Namun, sungguh menyedihkan sampai hari ini dua perkara itu belum juga terselesaikan.

Alih-alih menemukan solusi, pemerintah justru kerap memperlihatkan langkah yang ceroboh.

Membuat aturan yang sekadar tambal sulam, yang pada akhirnya dibongkar pasang ialah salah satu contoh kecerobohan itu.

Pemerintah sepertinya lupa, harga tinggi dan kelangkaan minyak goreng selalu saling berkelindan.

Ketika ada salah satu yang ‘sakit’, penyembuhannya mesti dengan obat yang cocok untuk keduanya.

Tidak bisa parsial.

Prinsipnya sederhana, jangan mengobati luka di satu sisi kalau itu malah berpotensi memunculkan luka baru di sisi yang lain.

Akan tetapi, itulah yang terjadi.

Ketika pada Januari 2002 lalu persoalan harga coba diselesaikan dengan kebijakan satu harga, lalu disusul dengan regulasi harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng Rp14 ribu per liter, seketika itu pula kelangkaan mulai terjadi.

Minyak seolah menghilang dari pasar.

Masyarakat menjerit, para pelaku usaha mikro, terutama pedagang gorengan dan warung makan yang jumlahnya jutaan kelabakan.

Operasi pasar digelar.

Orang mengantre dan berjubel demi mendapatkan minyak goreng murah.

Korban berjatuhan, bahkan ada yang meninggal dunia setelah kecapaian mengantre.

Pemerintah kemudian merasa menemukan solusi dengan mencabut aturan HET minyak goreng dan melepas harga minyak goreng kemasan kepada mekanisme pasar.

Benar, masalah kelangkaan langsung teratasi.

Tanpa menunggu lama, rak-rak di toko ritel modern mudah penuh dengan kemasan-kemasan minyak goreng.

Namun, apa konsekuensinya?

Atas nama keekonomian, harga minyak goreng kemasan kembali melonjak tidak terkendali.

Bahkan, minyak goreng curah yang semestinya disubsidi, di sejumlah tempat tetap dijual dengan harga mahal akibat ketidaksiapan pengawasan dari eksekusi aturan di lapangan.

Dari perjalanan hampir lima bulan itu, kegagapan pemerintah terlihat gamblang.

Saking gagap dan paniknya, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi malah sempat mengeluarkan pernyataan yang tak berempati saat ia menyalahkan masyarakat sebagai penyebab minyak goreng langka karena melakukan ‘penimbunan’ dan panic buying.

Dia lain waktu, saat rapat kerja dengan Komisi VI DPR, kemarin, Lutfi gantian menuding mafia dan spekulan yang membuat kelangkaan.

Namun, lagi-lagi, ia melempar pernyataan yang tak elok didengar anak bangsa.

Setelah menuding mafia, ia justru meminta maaf karena tak mampu melawan mereka.

Lho, pemerintah sebagai representasi negara kok takut dan semudah itu menyerah?

Bukankah negara punya segala perangkat untuk melawan mafia, spekulan atau apa pun namanya?

Bukankah sikap pengecut seperti itu justru akan semakin menguatkan persepsi publik bahwa selama ini pemerintah memang bertekuk lutut di hadapan mafia?

Tudingan, ketika belum bisa dibuktikan, sejatinya ialah asumsi.

Yang dituntut publik ialah pemerintah punya keberanian untuk membuktikan kebenaran asumsi-asumsi tersebut.

Bukan malah buru-buru angkat tangan setelah melempar tudingan.

Bawa ke ranah hukum jika memang ditemukan unsur pidana atau dugaan kartel, misalnya.

Gali akar masalahnya, setelah itu segera temukan solusi supaya tata niaga minyak goreng di masa mendatang bisa lebih berpihak kepada rakyat, bukan kepada cukong atau spekulan.

Kekisruhan selama lima bulan seharusnya sudah cukup dan mesti diakhiri.

Sumber: https://mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/2601-lawan-mafia-minyak-goreng

\もっとインドネシアを知りたいひとはこちら/

メルマガやSNSでは、インドネシア語学習に役立つ最新情報やコンテンツをお届け!是非チェックしてみてくださいね。